

Kalau mendengar nama Museum Nasional disebut, saya masih berpikir, “Di mana, ya?” Tapi kalau Museum Gajah, nah … langsung saya tahu dan ingat letaknya di Jalan Merdeka Barat, dekat Tugu Monas. Padahal Museum Nasional dan Museum Gajah adalah museum yang sama. Ini karena Museum Gajah sudah melekat dalam pikiran dan hati saking seringnya waktu kecil dulu main ke sana.
Entah kapan terakhir saya ke Museum Nasional, yang jelas sudah lama sekali. Karena itu senang sekali bisa berkunjung lagi ke sana. Museum Nasional sudah ramai dikunjungi siswa-siswa sekolah, turis lokal dan asing, baik yang datang sendiri maupun dalam rombongan. Semua tumpah ruah di sana. Alhamdulillah, senang melihat antusiasme pengunjung. Museum Nasional sudah jauh lebih modern dibanding masa dulu waktu saya ke sini. Tapi, sudut-sudut tertentu masih menyisakan kenangan manis, terutama arcanya yang tetap bergeming di tempat mereka.
Museum Nasional kini punya dua Gedung. Gedung A digunakan untuk pameran koleksi sekaligus ruang penyimpanan. Gedung B, yang lebih baru, selain untuk ruang pameran juga untuk kantor, ruang konferensi dan perpustakaan. Salah satu ruang pameran yang menarik bagi saya adalah Lantai 4 Gedung B, tempat pameran koleksi benda-benda purbakala yang terbuat dari emas dipamerkan. Ruang Koleksi Khazanah Emas di lantai 4 Gedung B ini sepertinya menjadi satu-satunya ruang yang tidak memperbolehkan pengunjung untuk memotret.
Tanpa saya duga, Arca Prajnaparamita yang terkenal dengan kecantikannya ditempatkan di sana. Arca ini memang sangat cantik, halus, hampir tak ada kerusakan. Menurut informasi dari Wikipedia, arti harfiah Prajnaparamita adalah “kesempurnaan dalam kebijaksanaan” dan merupakan salah satu dari enam atau sepuluh sifat transedental manusia.
Terus terang, saya cukup terkejut bahwa selama ini saya mengingat hal yang salah tentang arca Prajnaparamita, arca yang sejak kecil sudah saya dengar popularitasnya. Dulu saya mendengar bahwa Prajnaparamita adalah perwujudan Ken Dedes, istri Ken Arok, raja pertama Singhasari. Ternyata, Menurut penelitian Munandar (2003) arca Prajñaparamita menggambarkan Rajapatni Gayatri, putri bungsu Raja Krtanagara yang hidup pada masa akhir kerajaan Singhasari dan awal kejayaan kerajaan Majapahit. Siapapun dia, yang jelas kecantikan seorang wanita pada masa itu tidak kalah dengan masa kini.
Yang menarik, nama Prajnaparamita dijadikan sebagai nama jurnal ilmiah terbitan Museum Nasional (https://www.museumnasional.or.id/category/publilkasi/jurnal-museum). Pada edisi tahun 2016, ada salah satu artikel yang ditulis oleh Gaya Mentari berjudul Prajnaparamita: Wujud Estetika Seni Arca. Mentari (2016) bercerita tentang gaya seni dari arca tersebut dan makna-makna yang terkandung dari postur sang “tokoh”. Menurutnya, arca tersebut memiliki ciri karya seni arca yang berasal dari masa Dinasti Singhasari, yaitu bunga Teratai (yang keluar dari bonggolnya) dan postur tubuh yang “kaku”. Bisa dikatakan, karya seni arca Prajnaparamita tergolong seni Klasik Muda yang berkembang di Jawa Timur, berbeda dengan gaya sebelumnya yang berkembang di era Mataram Kuna, Jawa Tengah (Susetyo dkk. 2021).

Referensi:
Mentari, G. 2016. Prajnaparamita: Wujud Estetika Seni Arca. Jurnal Prajnaparamita 1: 145-151.
Susetyo, S., A. Murdihastomo, A. Indrajaja, D. Nugroho. 2021. Gaya seni arca masa Kadiri: Studi terhadap arca Candi Gurah dan Candi Tondowongso. KALPATARU 30(1): 1-24.