Konser Anak Muda

Sabtu siang 22 Mei nonton konser Orkes Simfoni UI. Semula berpikir yang datang pasti generasi seangkatan saya, bahkan lebih tua lagi. Apalagi tema konser kata Si Flyer tentang perjuangan. Langsung saya berpikir yang dimainkan adalah lagu-lagu perjuangan jaman kemerdekaan. Ternyata saya salah besar. Tamu-tamunya anak-anak muda dengan dandanan rapi, setengah formal, semua bergaya dan ingin kelihatan tampil cantik dan menarik. Sangat menyenangkan melihat anak-anak muda mendukung orkes yang pemainnya ternyata anak-anak muda juga.

Salah dua saya adalah saya sudah siap-siap untuk merasa bosan, jenuh, atau mengantuk. Ternyata mendengar musik yang dimainkan justru membuka mata dan telinga, dan membangunkan ide-ide di kepala. Rasa-rasa dalam hati ikut terbangun mendengar gesekan biola dan cello, tiupan terompet, klarinet, dan obo, dentuman drum, dan sesekali dentingan triangle. Mendengar kesatuan alat musik mengayunkan lagu-lagu Johannes Brahms, Cristopher Larkin, Johann Sebastian Bach, dan lainnya, saya bagai dibawa dalam suatu petualangan yang seru dan menyegarkan. Lagu The Typewriter karya Leroy Anderson dimainkan dengan unik. Suara ketikan dan denting khas dari mesin tik berpadu dengan instrumen lain membuat saya membayangkan sedang menulis diiringi oleh lagu gembira.

Saya juga baru tahu bahwa orkes punya babak-babak, sama seperti sandiwara atau teater. Para pemain datang dan pergi sesuai dengan lagu yang dimainkan. Kadang yang bermain kelompok kecil, lima orang. Lagu yang lain dimainkan oleh kelompok yang lebih besar bisa lebih dari sepuluh orang. Di tengah-tengah babak ada lima belas menit rehat. Penonton diberi waktu istirahat. Jadi yang mau ke kamar kecil atau makan minum bisa menyelesaikan urusannya tanpa mengganggu pertunjukan. Sambil menikmati pertunjukan saya perhatikan setiap orang punya peran, sekecil apapun. Walaupun hanya mendentingkan triangle atau sesekali mengayunkan genderang, semua ikut menyempurnakan lagu yang dihadirkan.

Waktu para pemain akhirnya memainkan lagu terakhir saya merasa waktu berlalu begitu cepat. Pengalaman hari ini benar-benar tidak terduga, tidak terbayangkan, bahkan agak mengejutkan bahwa ini menyenangkan. Saya pikir yang membuat hari ini bersemangat adalah melihat anak-anak muda yang terlibat dalam acara orkes. Mulai dari penerima tamu, pengatur panggung, pemain, Sang Jerigen, semua wajah-wajah muda. Di tengah-tengah mereka juga ternyata ada mahasiswa Biologi Angkatan 2020 dan 2021. Sungguh patut dibanggakan! Mereka punya hal-hal yang mereka cintai dengan serius dan sungguh-sungguh. Serasa melihat masa depan yang penuh harapan. Semoga apa yang mereka cita-citakan, semua harapan dan keinginan, bisa menemukan jalannya.

Bertemu Prajnaparamita di Museum Nasional

Kalau mendengar nama Museum Nasional disebut, saya masih berpikir, “Di mana, ya?” Tapi kalau Museum Gajah, nah … langsung saya tahu dan ingat letaknya di Jalan Merdeka Barat, dekat Tugu Monas. Padahal Museum Nasional dan Museum Gajah adalah museum yang sama. Ini karena Museum Gajah sudah melekat dalam pikiran dan hati saking seringnya waktu kecil dulu main ke sana.

Entah kapan terakhir saya ke Museum Nasional, yang jelas sudah lama sekali. Karena itu senang sekali bisa berkunjung lagi ke sana.  Museum Nasional sudah ramai dikunjungi siswa-siswa sekolah, turis lokal dan asing, baik yang datang sendiri maupun dalam rombongan. Semua tumpah ruah di sana. Alhamdulillah, senang melihat antusiasme pengunjung. Museum Nasional sudah jauh lebih modern dibanding masa dulu waktu saya ke sini. Tapi, sudut-sudut tertentu masih menyisakan kenangan manis, terutama arcanya yang tetap bergeming di tempat mereka.

Museum Nasional kini punya dua Gedung. Gedung A digunakan untuk pameran koleksi sekaligus ruang penyimpanan. Gedung B, yang lebih baru, selain untuk ruang pameran juga untuk kantor, ruang konferensi dan perpustakaan. Salah satu ruang pameran yang menarik bagi saya adalah Lantai 4 Gedung B, tempat pameran koleksi benda-benda purbakala yang terbuat dari emas dipamerkan. Ruang Koleksi Khazanah Emas di lantai 4 Gedung B ini sepertinya menjadi satu-satunya ruang yang tidak memperbolehkan pengunjung untuk memotret.

Tanpa saya duga, Arca Prajnaparamita yang terkenal dengan kecantikannya ditempatkan di sana. Arca ini memang sangat cantik, halus, hampir tak ada kerusakan. Menurut informasi dari Wikipedia, arti harfiah Prajnaparamita adalah “kesempurnaan dalam kebijaksanaan” dan merupakan salah satu dari enam atau sepuluh sifat transedental manusia.

Terus terang, saya cukup terkejut bahwa selama ini saya mengingat hal yang salah tentang arca Prajnaparamita, arca yang sejak kecil sudah saya dengar popularitasnya. Dulu saya mendengar bahwa Prajnaparamita adalah perwujudan Ken Dedes, istri Ken Arok, raja pertama Singhasari. Ternyata, Menurut penelitian Munandar (2003) arca Prajñaparamita menggambarkan Rajapatni Gayatri, putri bungsu Raja Krtanagara yang hidup pada masa akhir kerajaan Singhasari dan awal kejayaan kerajaan Majapahit. Siapapun dia, yang jelas kecantikan seorang wanita pada masa itu tidak kalah dengan masa kini.

Yang menarik, nama Prajnaparamita dijadikan sebagai nama jurnal ilmiah terbitan Museum Nasional (https://www.museumnasional.or.id/category/publilkasi/jurnal-museum). Pada edisi tahun 2016, ada salah satu artikel yang ditulis oleh Gaya Mentari berjudul Prajnaparamita: Wujud Estetika Seni Arca. Mentari (2016) bercerita tentang gaya seni dari arca tersebut dan makna-makna yang terkandung dari postur sang “tokoh”. Menurutnya, arca tersebut memiliki ciri karya seni arca yang berasal dari masa Dinasti Singhasari, yaitu bunga Teratai (yang keluar dari bonggolnya) dan postur tubuh yang “kaku”. Bisa dikatakan, karya seni arca Prajnaparamita tergolong seni Klasik Muda yang berkembang di Jawa Timur, berbeda dengan gaya sebelumnya yang berkembang di era Mataram Kuna, Jawa Tengah (Susetyo dkk. 2021).

Referensi:

Mentari, G. 2016. Prajnaparamita: Wujud Estetika Seni Arca. Jurnal Prajnaparamita 1: 145-151.

Susetyo, S., A. Murdihastomo, A. Indrajaja, D. Nugroho. 2021. Gaya seni arca masa Kadiri: Studi terhadap arca Candi Gurah dan Candi Tondowongso. KALPATARU 30(1): 1-24.

Bicara Kematian

“Setiap yang bernyawa pasti mengalami mati” (QS Ali Imran:185)

Tidak mudah bicara soal kematian. Bukan bicara sekedar bicara, tetapi lebih dari itu, memaknainya. Seperti hal-hal lain, kematian juga ada ilmunya. Bukan hanya ilmu agama, bagi mereka yang meyakini. Kematian juga dipahami sebagai fenomena alam sehingga menjadi bagian dari sains. Sejak kita dilahirkan, kematian sudah melekat dalam diri kita. Bersinggungan, tapi tidak selalu dirasakan kehadirannya. Terkadang, tanpa disadari, mungkin kita pernah menolaknya. Ucapan “Forever Young”, “Long Live the King”, “Semoga Panjang Umur”, mengandung harapan bagi kehidupan yang tak berujung. Harapan yang mendasari usaha-usaha penemuan sains dan teknologi agar sel dapat terus muda dan dengan begitu dapat terus hidup atau imortal.

Sewaktu muda saya tidak begitu dalam memikirkan kematian. Namun, seiring waktu, kesan-kesan terhadap kematian semakin mendalam. Saya pikir ini bukan masalah usia, bahwa orang muda tidak acuh dan orang tua pasti banyak memikirkan mati. Ada hal lain yang bukan faktor usia yang menentukan seseorang memiliki kesan terhadap kematian. Saya tidak ingat kapan dan apa pemicunya, tapi ada satu periode dalam kehidupan saya ketika muncul pemikiran bahwa bila saya berangkat tidur maka saya tidak akan bangun lagi. Momen itu masih saya ingat karena setelahnya saya mulai membaca buku-buku tentang “kematian”, baik itu buku serius atau fiksi. Kisah-kisah Near Death Experience (NDE), The Lovely Bones, Sing,Unburied,Sing, Death on Earth, dan yang terbaru Dialog dengan Kematian dan Kehidupan Mikroorganisme.

Ketakutan terhadap kematian, menurut saya, bukan karena tidak ikhlas pada ketentuan yang Allah tetapkan. Tetapi, pada dasarnya, sama dengan perasaan takut atau khawatir terhadap hal-hal yang tidak kita ketahui. Dalam kehidupan seringkali kita punya prasangka buruk terhadap sesuatu hanya karena kita tidak tahu hal tersebut. Orang tua takut anaknya pergi jauh karena tidak ada pengetahuan tentang tempat yang jauh itu. Seorang murid takut menjawab pertanyaan guru karena tidak ada pengetahuan tentang apa yang ditanyakan. Seseorang punya prasangka buruk terhadap orang yang berbeda agama-suku-ras karena dia tidak mengenalnya. Bila kita mencoba mencari tahu hal-hal yang kita takuti, boleh jadi ketakutan itu menjadi berkurang.

Kematian pun, dengan demikian, harusnya menjadi sesuatu yang digauli, bukan dijauhi apalagi ditakuti. Seperti kutipan tulisan Prof. Toeti Heraty Rooseno dalam Dialog dengan Kematian : “Menghadapi kematian dengan harapan untuk tidur tenang, dan lebur tanpa mimpi dengan ikhlas, sesudah mensyukuri dalam-dalam hidup yang sangat indah ini.”

Bacaan:

Howard J. 2016. Death on Earth: Adventures in Evolution and Mortality. Bloomsbury Publishing, London: 288 hlm.

Noerhadi-Roosseno TH & IG Roosseno. 2022. Dialog dengan Kematian dan Kehidupan Mikroorganisme. PT Kompas Media Nusantara, Jakarta: xviii+174 hlm.

Sebold A. 2002. The Lovely Bones. PT Gramedia Penerbit Utama, Jakarta: 440 hlm. [Terj.]

Ward J. 2017. Sing, Unburied, Sing. Penerbit Qanita, Bandung: 302 hlm. [Terj]

Keseruan Satu Hari

Sesekali bertindak impulsif sangat baik. Ikuti saja kata hatimu. Dengarkan keinginanmu untuk sesekali lepas dari keseharian. Jangan banyak menimbang: TO BE OR NOT TO BE, SHOULD I OR SHOULD’T, IS IT WISE OR NOT. Tinggalkan semua pemikiran itu dan bergembiralah. Itu yang terjadi di satu hari ini. Awan tebal menutup matahari membuat pagi jadi mendung dan hati diliputi was-was. Tapi, begitulah. Tak ada yang dapat menghalangi tekat bulat untuk menikmati alam Kebun Raya Bogor.

Entah, kapan terakhir kali berkunjung di kebun yang penuh nostalgia ini. Memang penuh nostalgia karena sebagai seorang anak, saya sudah diajak “main” ke sana oleh Bapak Ibu. Sewaktu jadi mahasiswa biologi, kebun ini seperti laboratorium outdoor, tempat pengamatan berbagai flora fauna. Karena itu, buat saya, banyak kenangan indah tersimpan dalam lanskap kebun raya yang secara umum tidak banyak berubah.

Kali ini yang menjadi pengamatan saya adalah liken, atau sering dikenal dengan nama lumut kerak. Bayangkan dalam satu pohon pandan, begitu banyak jenis lumut kerak hidup di batangnya. Aneka bentuk, warna, kepadatan, semua terpampang di sana. Lumut kerak memang sering luput dari pengamatan karena ukurannya yang kecil. Namun, sekali kita mengenalnya, pasti akan terpesona.

Satu perubahan yang penting buat para penggemar kopi adalah dibukanya beberapa kedai kopi di dalam kebun raya. Salah satu yang sempat saya kunjungi adalah Secret Garden Cafe. Nuansa lapang dan segar langsung terasa begitu kita masuk ke dalamnya. Beberapa lukisan tanaman bergaya seni menghias dinding kafe yang berwarna putih. Saya bersyukur dapat menikmati pagi yang sejuk ditemani secangkir kopi dan beberapa potong pisang goreng. Satu hari yang penuh kebahagiaan sudah cukup sebagai amunisi menghadapi pekerjaan rutin di hari esok.

Secret Garden Cafe

Jangan lupa ajak teman-teman. Jalan-jalan di Kebun Raya Bogor tanpa teman kurang menggigit. Have FUN!!

Mengeluarkan Katak dalam Tempurung

Judul di atas saya tulis ulang dari kata pengantar yang saya toreh di buku saya Catatan Pendek Seorang Dosen. Memang begitulah adanya saya, terkungkung dalam tempurung sebelum akhirnya memberanikan membagikan catatan-catatan saya. Setelah ditolak oleh sebuah penerbit terkenal, kumpulan catatan itu saya tawarkan pada IPB Press. Alhamdulillah gayung bersambut dan terbitlah buku ini. Harapan saya, tentu saja, tak lain adalah pembaca mendapatkan kegembiraan dari membaca catatan ini. Mereka mungkin mengenang kembali masa-masa di sekolah dulu, baik yang pahit maupun manis. Semoga kenangan itu bisa menjadi refleksi diri sembari meneruskan langkah ke arah yang lebih baik. Setidaknya, begitulah harapan saya untuk diri sendiri.

Buat teman-teman yang sudah memberi dukungan, membeli, dan membaca kumpulan catatan ini, doa saya untuk kebahagiaan dan kesuksesan kalian. Semoga mimpi-mimpi kalian bisa menjadi kenyataan!

Symbiosis and Evolution

In comparison with Darwinian evolutionists who argue that the formation of new species is a result of mutation followed by natural selection, the Endosymbiotic Theory approaches evolution in differently. In high school, we are taught that evolution is a change through time, provided with classic evidence of the populations of finches in the Galapagos Island.

Under the piles of material study about Darwin’s Theory of Evolution, Endosymbiotic Theory is merely the engulfment of one bacterium by others, forming organelle cells of mitochondria and chloroplast. Many textbooks simply write that an endosymbiont is a common occurrence in the evolution of organisms. It is not common to think that new species evolved from an endosymbiont. However, we may re-construct this conclusion. Students should be given a balance information to understand that Darwin is the first but not the last one who proposed a theory of evolution. Elias and Archibald (2009) published a review on the impact of endosymbiosis on the evolution of the nuclear genome. This paper has a beautiful picture of the Endosymbiotic Theory explaining the origin and diversity of Chromalveolates (once known as algae). It is also mentioned that almost 20% of the nuclear genome of flowering plants Arabidopsis has the cyanobacterial footprints.

Evolution and classification is like two-sided coin they cannot be parted. Classification as a science has been developed, slowly but steadily. It was supported by the discovery of light and electronic microscope. Classification system is re-shaping its form: Starting from Linnaeus, who divided organisms into plants and animals, to Woese, who introduced Domain as the highest taxonomic ranking. As we revise the system so to be closer to the tree of life, taxa disappeared, diversified, blended. Contrary to the most scientists, Margulis kept questioning Woese’s single data -the RNA- in separating (Eu)Bacteria from Archae: “If the RNA of microorganism can change in just few hours (such as Plasmodium), RNA sequence is probably not the best way of defining the greatest of all groups” (Margulis 1998: 67). To this date, the debates among taxonomists and systematists on morphological and molecular characters for species identification and classification are still on going.

References:

Margulis, L. 1998. Symbiotic Planet : A New Look at Evolution, Basic Books, ISBN 0-465-07271-2Elias M, Archibald JM. 2009. Sizing up the genomic footprint of endosymbiosis. BioEssays 31: 1273-1279.

https://www.deviantart.com/…/Endosymbiotic-Theory…

note: this article has been published in author FB

Belum Bisa Pulang

Lembayung menyapa ufuk
Membalur merah kuning kemusuk
Menggayut bulir di pelupuk
Aku belum bisa pulang, Bu
Mencicip asam manis buncis tumisanmu
Menuntas rindu di ujung kalbu

Telah lama
Kutulis cerita di atas kartu merah muda
Tentang dirimu yang istimewa
Ingin kubacakan kala berjumpa
Insan berniat Allah Pemilik Rencana
Aku belum bisa pulang, Bu

Lamat-lamat terdengar adzan
Mengantar senja masuk peraduan 
Kubasuh tangan, wajah, dan kaki
Mengucap takbir bersihkan diri 
Yaa, Ilahi Robbi, pintaku
Biarkan badai ini pergi berlalu

Depok, 20 Juli 2021

Pelangi Dalam Aksara

Menulis sudah saya lakoni sejak jaman masih pakai seragam merah putih. Semula corat coret di buku tulis, lalu pindah pakai mesin tik yang dibelikan Bapak. Masa itu yang ditulis selalu kisah roman, Cinderala story, berkhayal ada yang bilang “I love you” (padahal ketika jadi kenyataan saya malah kabur, it’s true hehehe). Ceritanya lebih banyak yang tidak selesai karena saya selalu banyak ide di awal lalu macet di tengah, kehabisan khayalan. Setelah Cinderela hilang dari diri, tulisan saya lebih banyak seriusnya ketimbang bunga-bunga cinta. Begitulah, semakin lama saya semakin mengenal tipe tulisan saya dan nyaris putus asa tidak bisa keluar dari sana.

Bertemu dengan teman-teman di Komunitas IK sungguh suatu berkah buat saya, seakan saya ditantang untuk membuktikan apakah menulis hanya romantisme masa kecil saya atau memang suatu kebutuhan. Ada banyak tantangan yang sama sekali baru buat saya, terutama menulis sesuatu yang “bukan saya”. Salah satunya diminta nulis puisi. Ternyata dengan semangat dan kritik yang diberikan sedikit demi sedikit saya mulai percaya diri untuk menulis puisi. Tentu saja masih jauh dari sempurna, sampai sekarang. Puisi saya masih menunggu mood. Kalau sedang sedih, kecewa, atau galau biasanya lebih mudah keluar. Tapi tidak mengapa. Katanya menulis puisi itu seperti nulis cerita, bisa disambung di lain waktu. Tidak sekali jadi seperti para maestro puisi.

Kebersamaan dengan teman-teman IK berbuah manis dengan lahirnya buku antologi puisi Pelangi Dalam Aksara. Suatu karya yang malu-malu lahir tapi tidak saya sangka mendapat apresiasi dari teman-teman dekat. Bahkan gara-gara buku ini seorang teman mencemplungkan saya ke dalam kumpulan yang namanya Poetry Writing Society. Pelangi Dalam Aksara semoga bukan satu-satunya buah IK. Semoga!

Nelayan tua membuang sauh
Tangan gemetar menyapu peluh
Sebelum bermimpi terlalu jauh
Setor dulu Ketik 20

WADOWWW!!!

Puisi buat Bu Guru

Tidak terasa setahun sudah anak bontot sekolah dari rumah. Dia tidak pernah mengeluh soal itu, walaupun di tiap kesempatan bertemu luring dengan teman-temannya tampak semangat dan keriangan di wajahnya. Setahun sudah anak bontot dibimbing oleh gurunya yang punya dedikasi luar biasa. Tiap guru pasti punya dedikasi dengan siswanya, tapi orang tua biasanya tahu guru mana yang pas dengan karakter anaknya. Yang membuat saya heran, bagi si bontot yang punya watak slonong boy, guru-guru “galak” justru pas buat dia. Guru yang disiplin, selalu ngingetin, punya sistem reward and punishment untuk siswa perwaliannya, keras di satu sisi lembek di sisi lain, malah membuat si bontot fokus dengan tujuan. Tanpa stres, tanpa tekanan. Karena itu sedih saya ketika menerima rapot kenaikan kelas dan harus berpisah dengan gurunya. Lalu terciptalah puisi di bawah ini.

Sapamu 'kan Membiru

Sudah terbiasa aku
mendengar denting pos wa-mu
di tiap hari
bersahut-sahut dengan cicit burung dan gemericik air cucian piring sehabis menyiapkan sarapan pagi
Semoga kau dalam keadaan sehat, Bu Guru

Sudah terbiasa aku
menerima salam dan beritamu
di tiap hari
mengilik-kilik kesadaran untuk sebentar berpaling dari kesibukan diri dan menengok permata hati
Terima kasih, Bu, telah mengawal permata kami

Setiap hari setiap waktu
Tak lelah engkau menyapa merdu
Lewat pos-pos wa mu
Sapa yang ‘kan selalu membiru
Setiap kulihat permata hatiku
Bersinar cemerlang diasah cinta dan ketulusanmu
Tak ada yang dapat kuberi padamu, Bu
Selain doa pada Ilahi
Robbi, limpahkan kasih sayangMu bagi guru kami terkasih, Ibu Badriah

Depok, 24 Juni 2021

Chrisye – Konser 7 Ruang

Konser Chrisye yang digagas Konser 7 Ruang-DSS-Baznas-ILUNI UI sudah berakhir. Sesuai nama konsernya, semua lagu yang dinyanyikan adalah lagu Chrisye. Penyanyi favorit saya, selain Vina Panduwinata. Setiap ada momen mendengarkan lagu bareng pasti akan ada yang komentar, “Penyanyi jaman kita emang TOP, lagunya bagus-bagus.” Terkadang ada yang menambahkan dengan komentar miring bahwa lagu jaman sekarang tidak “jelas”. Sebenarnya wajar saja komentar itu karena di balik sebuah lagu ada berbagai kenangan yang menyertai. Jaman SD, lagu saya mengikuti alunan irama Bapak yang suka menyetel lagu-lagu kenangan dan Perjuangan. Masa SMP saya lekat dengan lagu-lagu Vina dan Beatles, sedangkan Chrisye baru muncul waktu saya SMA, bersama dengan KLA-Project. Setelah kerja, pilihan saya lebih beragam termasuk lagu-lagu asing dari barat maupun Jepang yang memang baru terasa akrab di telinga. Lagu-lagu sekarang bagi saya biasa saja. Bukan dengan maksud merendahkan, tapi karena memang tidak terhubung dengan suasana batin saya. Saya yakin ini dirasakan juga oleh banyak orang. Karena itu generasi 70-80 akan akrab dengan lagu-lagu masa itu, beda dengan generasi 90-2000. Tentu saja lagu-lagu Evergreen yang abadi dan lintas generasi pasti ada dan saya yakin Chrisye salah satunya.

Konser ini punya maksud mulia, yaitu penggalangan dana untuk membantu rakyat Indonesia yang memerlukan. Alhamdulillah, banyak yang mendukung niat mulia ini. Yang menyumbang ternyata disebut nama dan jumlah sumbangan, jadi ketahuanlah angka-angka yang fantastis: 5, 8, 10, 25, bahkan 50 juta! Angka-angka unik juga muncul, misal yang mencerminkan Angkatan, atau yang hanya diketahui si penyumpang (Rp. 8.888.888). Pasti dia sangat senang angka 8. Buat mereka yang ada di luar negeri dan ingin menyumbang, panitia menggunakan aplikasi Pay Pal. Tercatat angka-angka 50 Euro, $100 dan $500. Berapa pun angkanya, saya merasa gembira sekaligus terharu dengan para partisipan dari dalam dan luar negeri. Memang sih, ada komentar penonton yang mengganggu saya, seperti “Kok dapatnya cuma ratusan juta? Bandingkan dengan alumni PTN anu dan anu yang dapatnya sekian milyar.” Kemudian dilanjut dengan pertanyaan-pertanyaan yang masuk kategori evaluasi kerja panitia. Huaduhh. Bila panitia kecewa dengan jumlah sumbangan wajar saja, kan mereka punya target. Bila para penyanyi dan pendukung acara kecewa saya pun masih merasa wajar karena (mungkin) mereka ingin menginspirasi banyak orang untuk menyumbang. Tapi, kalau penonton kecewa dengan hasil sumbangan …. saya kok berpikir tidak sepantasnya memiliki rasa itu. Terlebih bila sepeser pun uang tidak kamu cemplungkan dalam kotak sumbangan.

Konser seperti ini sekaligus menjadi ajang reuni dadakan. Banyak hati yang senang karena bisa bertukar sapa dengan teman-teman lama. Kenangan manis menjelma menjadi semangat yang positif dalam diri, menular dari satu individu ke individu lain, berharap bisa berhimpun ke aksi-aksi lain yang bermanfaat bagi sesama. Sesederhana itu saya ingin berpikir dan merasa terhadap kegiatan-kegiatan positif yang terjadi di sekitar.

Akhirnya, mari kita berdoa, “Semoga, berapa pun dana yang terkumpul, bisa dimanfaatkan untuk meringankan beban saudara-saudara kita yang sedang dilanda musibah di seantero negeri.” Aamiin Ya Robb.

Puasa Tahun Ini

Tahun ini waktu yang berlalu dalam bulan puasa
menyisakan satu rasa tentang kehilangan yang aneh
karena sebenarnya apakah kita pernah memiliki

Baru kemarin teman mengisi pos hikmah
dengan tanda besar HARI KE-1
dan kemarin juga pos itu sudah berubah jadi HARI KE-23

Sahur demi sahur, satu menyusul yang lain
berkejaran dalam terik hari yang terkadang basah oleh hujan
menghilang dalam kumandang adzan Maghrib
yang sebentar saja berlalu dalam hiruk pikuk persiapan sahur berikut

Kutanya seorang teman
Apa yang dapat dilakukan di sisa bulan puasa
yang tidak biasa tahun ini
ketika banyak tradisi ditanggalkan
dan kita kembali pada kemurnian dan kesederhanaan makna Ramadhan
Kerjakan urusan duniamu di sela-sela urusan akhiratmu, katanya,
terburu-buru menutup chat seperti hendak mengamalkan kata-katanya sendiri

Mungkin ia sedang menelisik malam-malam ganjil bulan puasa
mencari Rahmat dan Ampunan Robb Penguasa Langit dan Bumi
dalam harap seorang hamba
akan janjiNYA
yang tak lekang oleh waktu yang berlari di tahun yang ganjil ini


Depok, 5 Mei 2021

Bernard Shaw – Pencarian

Saya berusaha mencari buku asli dari nukilan tulisan ini, yang pernah saya catat sekitar tahun 2004-2005. Saya ingin memastikan apakah memang Bernard Shaw pernah menulis seperti ini. Tulisan ini sungguh berkesan, mengingatkan saya tentang kecintaan terhadap buku.

Bernard Shaw mengatakan:

Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku pernah merasakan kemiskinan yang sesungguhnya. Sebelum aku bisa mencari nafkah dengan menulis, aku memiliki sebuah perpustakaan besar yang terletak di museum Inggris. Aku memiliki ruang pameran seni lukis. Apa yang bisa aku lakukan dengan harta? Menghisap rokok? Aku tidak merokok. Minum champagne? Aku tidak suka minum. Membeli tigapuluh setelan model terakhir? Maka mereka cepat mengajak aku menghadiri undangan makan malam di istana-istana mereka. Mereka orang-orang yang aku merasa sesak dada ketika memandang mereka sekejab saja. Atau aku membeli seekor kuda? Atau mobil? Semua itu membuat aku resah. Sekarang aku telah mempunyai sejumlah harta yang dengannya aku mampu membeli barang-barang tersebut. Namun aku tidak membeli apa-apa kecuali membeli apa yang bisa kubeli ketika aku miskin.

Sesungguhnya kebahagiaanku terletak pada apa-apa yang telah membahagiakan aku ketika aku miskin: buku yang aku baca, lukisan yang aku menikmatinya, dan ide-ide yang aku tulis. Di sisi lain, aku memiliki imajinasi yang luar biasa. Aku tidak ingat bahwa aku membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekedar memejamkan mata untuk membayangkan apa yang aku inginkan. Jadi, apa gunanya kemewahan yang mencelakakan yang menghiasi jalan Bond?

Sumber: Menjadi Wanita Paling Berbahagia (As’ad al-Mar’ah fi al-’Alam).

(Dr. Aidh al-Qarni 2004)

Di Bawah Sini

Di bawah sini
Semua menunduk takzim
Tak ada bunyi tak ada suara
Hanya hening menyatu dengan bentangan pasir, tegakan karang,
dan jurang yang dasarnya tiada

Di bawah sini
Kegelapan adalah selimut abadi
Semua masuk dan meringkuk di dalamnya
Menghisap sari kehidupan yang di atas sana adalah milik cahaya
dan tak ada yang bertanya mengapa

Hari itu di bawah sini
Keheningan berteriak dan kegelapan terkoyak 
Oleh gemuruh cahaya yang datang dan tak ada yang sanggup menjawab mengapa ia datang 
Tak ada tanya tak ada jawab
Di bawah sini
Hanya menunduk takzim
Menyatukan cahaya dalam keheningan dan kegelapan semesta

Depok, 26 April 2021
#praynanggala402

Pisahkan Gundah dari Gulana

Sudah lama tidak mengisi kolom blog, begitu mengisi alasannya adalah untuk membuang gundah gulana akibat kejadian semalam. Ada apa dengan semalam? Tidak penting juga dengan “ada apa nya” yang jelas membuat saya mengutak-atik kolom ini. Gundah gulana pasti pernah dialami semua orang … yang normal. Ada efek baiknya mengalami ini, misalnya sekarang saya mendadak nulis setelah hampir sebulan vakum. Misal yang lain adalah jadi ingat pacar, sohib, mentor spiritual, atau yang paling baik ingat Tuhan. Soalnya, di waktu gundah gulana kita jadi butuh curhat, butuh teman yang bisa diajak bicara untuk menetralisir perasaan-perasaan negatif di hati. Yang penting jangan terlalu lama gundah gulana karena jadinya hanya mengasihani diri sendiri, mellow, ujung-ujungnya malah merugikan diri sendiri. Salah satu tips supaya gundah gulana cepat hilang adalah mengerjakan sesuatu yang bisa memisahkan gundah dari gulana dan saya yakin kita punya banyak pekerjaan yang bisa dilakukan, walaupun cuma menyikat kamar mandi. Nah, tunggu apa lagi. Ayo sikat kamar mandi!

Bertemu Myco

Hari itu tanggal 24 Maret 1882. Ahli mikrobiologi Jerman, Dr. Robert Koch, untuk pertama kali bertemu dengan Myco. Dr. Koch sudah lama mengamati berbagai macam bakteri yang menyebabkan penyakit pada manusia. Ia menyadari bahwa untuk mengenal bakteri artinya harus memelihara mereka di laboratorium. Itulah sebabnya Dr. Koch mengembangkan berbagai medium yang mampu menumbuhkan bakteri di luar sel manusia. Sampai sekarang, metode yang dikembangkan oleh Dr. Koch (dikenal dengan Postulat Koch) untuk membuktikan suatu bakteri menyebabkan penyakit tertentu tetap menjadi pegangan bagi para ahli di dunia kesehatan. Pada Jumat 24 Maret itu, Dr. Koch menyadari ia harus berhadapan dengan kuman baru, Mycobacterium tuberculosis. Sekarang dikenal dengan kuman penyebab penyakit tuberkulosis (TBC).

Rabu, 7 Februari 2021. Saya melarikan seorang kerabat ke IGD. Kondisinya batuk, sesak nafas, nyeri di dada.  Saturasi oksigen menunjukkan angka 89, jauh dari ambang batas aman 95. Pada masa pandemi covid 19 sekarang, semua tanda-tanda serangan virus itu dimiliki oleh kerabat saya. Hasil observasi rontgen toraks kemudian menunjukkan paru-paru berwarna putih, tanda bahwa ada cairan di sana. Semakin kuat dugaan infeksi virus SARS COV-2 ini. Namun, pemeriksaan lanjut membuktikan bahwa yang bersarang di paru-paru dia bukan si virus, melainkan bakteri yang ditemukan Dr. Koch di tahun 1882 itu. Halo, Myco!

Target serangan Myco mirip dengan SARS COV-2. Keduanya menyerang sistem pernafasan, tepatnya paru-paru. Oleh karena itu gejala yang disebabkan oleh kedua kuman itu sama: batuk, sesak nafas, dan nyeri di dada. Bahkan, bila sudah parah, batuk orang yang terinfeksi Myco diiringi dengan keluarnya darah. Menandakan ada luka di bagian paru. Para penderita maupun penyintas TBC memiliki kemungkinan kerusakan paru. Jauh sebelum munculnya covid 19, penyakit TBC sudah lama menghantui dunia kesehatan. Mengapa? Karena bakteri M. tuberculosis termasuk bakteri yang pintar bersembunyi. Selain itu, seperti umumnya bakteri dan virus, mereka mampu bermutasi menjadi lebih kuat dan resisten terhadap obat. Kondisi pandemi sekarang membuat pasien TBC dikesampingkan, padahal resiko kehilangan nyawa akibat penyakit ini tinggi. Laju kematian penderita TBC global adalah 1 orang per 18 detik. Sebanyak 1,4 juta orang meninggal di tahun 2019. Indonesia diketahui sebagai negara ketiga di dunia yang memiliki kasus TBC tinggi, setelah India dan Cina.

Saya sendiri pernah bertemu dengan Myco. Namun, dia tidak tinggal di paru-paru. Dia lebih memilih bersarang di kelenjar bagian leher dan menyebabkan benjolan. Gejala yang ditimbulkan bukan batuk dan sesak nafas. Saya merasakan ada yang salah dengan pencernaan saya, mual dan tidak nafsu makan. Badan tidak nyaman dan cepat merasa lelah. Rasa mual juga menyebabkan keinginan untuk muntah. Ketika keadaan semakin parah, yang keluar dari muntahan adalah dahak/lendir kental berwarna hijau. Dokter yang menangani langsung tahu bahwa saya terserang Myco. Lebih dari setahun saya harus mengkonsumsi obat. Untunglah obatnya cuma satu macam. Menurut dokter, pasien kambuhan menghadapi strain Myco yang lebih kuat dan harus menelan bermacam-macam obat yang efeknya bisa menggerus fisik dan mental pasien.

Taktik “Disiplin” Melawan Myco

Penyakit tuberkulosis bisa disembuhkan asalkan disiplin minum obat. Untuk menghindari resistensi bakteri, kesinambungan obat sangat penting bahkan sampai ke jam minum obat. Jangan sampai hari ini minum obat pagi, besok siang, dua hari kemudian malam hari. Apalagi minum obatnya bolong-bolong, sehari minum besok tidak, minggu ini minum minggu besok tidak. Apalagiiii bosan minum obat. Bila seperti ini dipastikan penyakit tidak akan sembuh bahkan membuat Myco bertambah kuat. Jadi, bakteri harus terus menerus dibombardir sehingga tidak ada kesempatan untuk tumbuh.

Saya lihat obat tuberkulosis masih sama dengan yang saya konsumsi dulu. Warna tabletnya pun masih sama, merah marun. Istilah yang digunakan adalah Obat Anti Tuberkulosis (OAT)-Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Tablet OAT-KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan status kasus pasien. Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket OAT-KDT. misal 2HRZE artinya obat tersebut mengandung Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol. Paket 2HRZES berarti ada tambahan Streptomisin, biasanya resep ini untuk pasien lama yang pengobatannya terputus. Alhamdulillah, tablet OAT sekarang digratiskan karena masuk dalam program kesehatan pemerintah. Waktu saya dulu tidak. Harganya termasuk mahal dan karena pengobatan lama lumayan harus keluar uang.

Semoga target Indonesia bebas TBC 2030 tercapai!